Tentang Hujan dan Embun Pagi
River Liffey Dublin, Winter Afternoon |
Kala itu sore menjelang petang. Jingga menggantung
mengawang-awang, mentari sudah hendak sembunyi, aspal yang tadi siang sempat
meleleh hingga menempel di roda-roda kendaraan kini kembali jadi sunyi.
Kendaraan masih berkeliaran, saling bersilangan melaju pada jalur yang telah
disediakan. Kepak sayap burung gereja nyaris tak nampak, hanya induk-induknya
saja yang masih pusing seperti kehilangan anak.
Aku baru pulang dari kampus. Sibuk mengerjakan tugas
organisasi nampaknya cukup menguras energy yang kukumpulkan semalam suntuk.
Lebih dari delapan jam, tak sedikitpun kutahan kantuk. Tak ada anak berseragam
SMA berkeliaran, apalagi SD atau SMP. Terlalu sore untuk mereka, kini saatnya
mereka mandi dan bersiap berangkat mengaji. Jalanan kali itu sepi.
Seorang sepantaranku terlihat diam di sisi sungai pinggir
jalan. Di tanah menurun itu, dibawah pohon meranti ia sendiri. Mentari masih
menyelundupakan sisa-sisa cahanya dari balik gedung di ujung pandangan gadis
itu. Sedikit kulihat mata sayunya yang tampak kosong meski ditabrak pantulan
cahaya dari riak-riak air. Dari melihatnya saja kuyakin ia sedang merana.
“tak ada hujan akhir-akhir ini.” Ujarku yang kemudian duduk
di sebelahnya sembari menanti mentari pergi.
“bukan hanya hujan, embun pun tak ada tiap pagi.” Katanya.
“tapi bukankah mereka pasti kan ada suatu saat nanti?”
tanyaku. Ia menjawab.
“percuma jika itu nanti, aku inginkan saat ini. Kemarin kalu
bisa dan kemarinnya lagi.”
“itukah sebabnya kau sendiri di pinggiran kali? Merindu
hujan dan embun pagi hari” tanyaku lagi.
“adakah yang salah dengan itu? Aku merindu sesuatu yang
takkan kembali” ia balik bertanya.
“bahkan jika dunia berputar searah jarum jam. Tak ada yang
bisa kau lakukan” balasku.
Dia bergeming, namun sorot matanya kini berbeda. Sedikit
kulihat air menggenang disana. Aku melanjutkan kata-kataku.
“terlalu banyak orang yang bangga akan derita, namun tak
seharusnya bagi orang yang tak bisa melewatinya, pun tak sepatutnya orang yang
sudah keluar dari derita”
Hening sesaat sebelum gadis itu menimpali.
“tapi tak banyak orang yang curahkan seluruh cintanya pada
hujan dan embun pagi. Hingga ketika ia lenyap dan tak mungkin kembali, cintanya
juga lenyap, begitupun hatinya, begitupun dirinya, begitupun hidupnya!”
“memang tak banyak orang seperti itu, mungkin hanya satu
dari seribu. Apalagi untuk orang yang tak pernah tahu siapa embun dan hujan
baginya, tak pernah melihatnya, tak pernah menyentuhnya, tak pernah
dipeluknya!” kataku lagi.
Masih ada sisa cahaya menggantung di ujung cakrawala.
Air mata gadis itu mulai mengalir.
Sambil berusaha menghentikan aliran air di pipinya, ia
lanjut berkata.
“baik seperti itu, karena dia tak akan pernah merasa
kehilangan”
“tak pernah merasa kehilangan namun senantiasa dinaungi
kehampaan? Kesepian? Kesunyian? Kesendirian?” tanyaku.
Semakin tampak aliran air dipipinya.
Induk-induk burung gereja benar-benar sudah tak nampak lagi
kali ini. Berganti menjadi anak-anak kalong yang belajar terbang dan mencari
nutrisi.
Gadis itu masih terdiam. Aku lanjut bertanya.
“tidakkah kau pikirkan hal apa yang akan terjadi keesokan
hari?”
Belum melepas tatapannya, gadis itu masih bergeming.
“Tidakkah kau pikirkan seberapa besar cinta hujan dan embun
pagi pada siapa yang merindukannya saat ini?”
Sebuah sepeda motor melintas di jalan aspal yang kami
belakangi.
Gadis itu memindahkan sejenak pandangannya padaku.
Kulihat sisa segaris jingga di balik gedung.
“Apakah mereka inginkan pelangi dan semangat pagi yang
mereka hasilkan berubah jadi gurun yang gersang lagi sepi?”
Kembali beralih pandangan gadis itu.
Sesaat kemudian lampu dipinggir jembatan menyala. Terhilat
kerlap-kerlip pijaran cahaya dari kejauhan sana.
Gadis itu menundukan kepala, mengusap air matanya. Kemudian
berusaha tersenyum dan mengangkat kepalanya.
Sekilas ia memandang ke arahku yang kini juga sedang
melihatnya. Masih kulihat sisa air mata di pelupuk matanya.
Belum sempat kulanjutkan berkata, kemudian ia berdiri lalu
pergi.
Kualihkan pandanganku.
Langit gelap.
Malam menjelma.
Tidak ada komentar: