Tebing Lidah Jeger
Proses pencarianku bermula di hari selasa, tanggal 4
Oktober 2016. Sekitar jam 05.00 pagi, aku terbangun di samping orang-orang yang
kini tak asing lagi bagiku. Orang-orang itu adalah para anggota Klub Aktivis
Pegiat dan Pemerhati Alam (KAPPA) Fikom Unpad. Sengaja aku memilih tidur di
sekre, karena hari ini adalah jadwal keberangkatanku menuju suatu tempat dimana
pencarian ini berlangsung.
Tebing Lidah Jeger (huruf e pertama dibaca
seperti membaca huruf e pada kata kecap –bumbu masak- dan huruf e kedua dibaca
layaknya membaca e pada kata gelas–tempat minum) desa Leuwi Karet Kecamatan
Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat adalah tujuanku saat ini. Setelah
mengalami pengunduran jadwal keberangkatan selama tiga hari karena logistic
yang belum memadai dan karena anggota tim (aku dan satu anggota tim pengembaraan
lagi Nadia) diberi amanah untuk mrngikuti FORSI, akhirnya kini waktu yang
ditentukan telah tiba.
Pukul 05.45 WIB, semua anggota tim beserta
para pendamping dari anggota madya KAPPA telah berkumpul. Setelah melakukan
upacara keberangkatan, kami berangkat menuju tempat pencarian kami pukul 07.00
WIB. Dari Jatinangor kami gunakan damri jurusan Elang-Jatinangor kemudian turun
di terminal Leuwi Panjang setelah 45 menit perjalanan,, setiap orang membayar
ongkos Rp7.000,- dilanjutkan dengan menaiki bis MGI jurusan Bandung-Cibinong
dari terminal Leuwi Panjang.
Pukul 08.00 WIB tepat bis MGI
Bandung-Cibinong meluncur. Masih pagi dan mentari masih menebarkan hawa hangat
saat itu. Sepanjang perjalanan tak banyak yang kami lakukan, hanya sedikit
mengobrol, asyik melihat pemandangan serta beristirahat mencoba kumpulkan
kekuatan. Jumlah orang keseluruhan yang mengikuti proses pencarianku ini adalah
5 orang, aku–Yadi dan Nadia selaku anggota muda yang melakukan pengembaraan
sebagai syarat mendapatkan nomor anggota, Kartika Ayu sebagai supervisor divisi serta Khairunnisa
Zenfin dan Syifa’ Khoirun Nisa’ sebagai pendamping. Syifa’ direncanakan datang
hari berikutnya.
Bis MGI yang kami tumpangi terus melaju di
jalan tol dengan sesekali beristirahat mengisi bahan bakar. Satu hal mengapa
aku menyebut pengembaraan ini dengan pencarian, itu karena kami juga memberi
judul pengembaraan ini the Search
yang berarti pencarian. Kami berharap dengan pengembaraan yang kami lakukan ini
kami dapat mencari dan menemukan kekuatan yang ada pada setiap diri kami,
menemukan apa arti kerjasama dan kekompakkan, menemukan dan menjalin tali
persaudaraan, silaturrahmi, serta mencari dan menemukan dimana posisi kami
sebagai manusia di alam raya ini.
Hampir 4 jam di dalam bis MGI ber-AC ini,
pukul 11.44 WIB kami tiba di Citeureup Kabupaten Bogor, tempat transit sebelum
menuju lokasi pencarian utama kami. Beruntung jalanan cukup bersahabat kala itu
hingga kami dapat sampai disini lebih cepat 20 menit. Turun tepat selepas pintu
keluar tol Citeureup, setiap dari kami harus membayar Rp.65.000,-. Pilihan lain
transportasi menuju Citeureup yang kami tidak pilih adalah dengan menaiki bis
jurusan Kampung Rambutan, dilanjutkan dengan bis lain menuju Citeureup.
Mendung yang menggantung dari semenjak
kami memasuki daerah Citeureup akhirnya pecah ketika itu. Sambil menunggu mobil
pickup yang menjemput, kami isi perut
kami dengan soto sambil menikmati irama rintikan hujan yang menyentuh aspal.
Akhirnya pukul 13.00 WIB mobil pick-up
milik pak Juhdi datang dengan buah-buahan memenuhi setengah dari bak mobilnya.
Kami langsung melompat naik ke setengah bagian bak lainnya yang masih kosong
tanpa pedulikan gerimis yang masih turun bernada-nada.
Dari Citeureup, memang tak ada angkutan
umum yang melayani rute ke tebing Lidah Jeger ataupun ke desa di dekatnya oleh
karena itulah kami meminta pak Juhdi dengan mobilnya untuk mengantarkan kami.
Perjalanan diarahkan menuju desa Leuwikaret. Jika tidak ada keperluan lain yang
mengharuskan mobil pickup berhenti,
30 menit berselang kami sudah bisa sampai di rumah pak Eman, namun karena masih
ada beberapa belanjaan yang harus kami beli dan menunggu pak Juhdi menyerahkan
buah-buahan yang ia bawa, pukul 14.00 WIB kami baru bisa berhenti sejenak di
rumah pak Eman seorang warga yang rumahnya sudah sering dijadikan basecamp oleh
para pegiat dan pecinta alam yang datang. Semua warga di Leuwikaret pasti
mengenal sosoknya.
Di rumah pak Eman kami meminta izin
padanya untuk melakukan kegiatan di tebing Lidah Jeger. Kemudian pak Eman
membantu dengan menuntaaskan perizinan pada RT maupun RW. Harusnya surat
perizinan juga ditujukan pada Karang Taruna desa Leuwikaret yang dinamai
PALIKAR. Namun karena di sekre PALIKAR tak ada seorang pun saat itu, maka pak
Eman mempersilahkan kami langsung menuju lokasi tebing.
Sebenarnya ada alternative lain jika ingin
menuju ke tebing ini, seperti halnya yang kami lakukan ketika survey satu bulan
lalu. Selepas tol Citeureup, naiklah angkot 08 menuju pasar Citeureup, dari
sana banyak ojeg yang menawarkan jasanya menuju kampung Pakapuran tempat dimana
adanya organisasi pemuda pecinta alam bernama Linggih Alam berada. Dengan
membayar Rp.3.000,- untuk angkot dan Rp.15.000,- untuk ojeg kita sudah bisa
sampai di sekre Linggih Alam. Anggota-anggotanya akan dengan senang hati mengantarkan
kita ke tebing Lidah Jeger.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke arah
Cioray dari rumah pak Eman, namun karena jalanan yang masih berupa susunan batu
licin akibat hujan, pak Juhdi tak bersedia mengantarkan kami hingga jalan yang
paling dekat dengan tebing. Alhasil kami hanya mendapat tumpangan hingga jalan
mendatar di bagian yang masih cukup jauh dari tebing. Dengan harga jasa
Rp.100.000,- harusnya kami bisa sampai tepat di ujung jalan setapak yang
mengarah ke tabing. Tapi, apa mau dikata kondisi berkata lain.
Jika menggunakan mobil perjalanan bisa
ditempuh hanya sekitar 15 menit menuju jalur trekking dilanjutkan 30 menit berjalan menuju tebing, namun karena
pak Juhdi tak bersedia mengantar kami, terpaksalah kami harus melakukan trekking melintasi jalan bebatuan yang
menanjak panjang terlebih dahulu, dilanjutkan dengan medan lumpur lengket
ditengah hutan yang juga terus menanjak
hingga kemiringan lebih dari 45 derajat selama 90 menit dengan beban
carrier 80 liter penuh peralatan.
Meski berjalan di sore hari dengan cauca
setelah gerimis dan awan yang masih menggantung, namun udara Bogor yang berbeda
dengan Jatinangor ditambah perjalanan menanjak, lebihlah dari cukup menguras habis
tenaga kami. Akhirnya kami tiba tepat di bawah tebing pukul 16.00 WIB. Dengan keringat
yang deras bercucuran, sore itu seorang mahasiswa dan tiga orang mahasiswi
terlihat lebih kacau dari seorang anak SD yang basah pakaian dan tubuhnya
setelah main air hujan.
Foto oleh Kusmiyadi |
Disana ada 2 tempat yang bisa dijadikan
tempat berkemah, satu di bagian bawah yang agak jauh dari tebing namun cukup
luas untuk menampung setidaknya 3 buah tenda berkapasitas 4 orang, satu lagi
tepat berada di bawah tebing dengan kontur tanah yang agak miring dan hanya
cukup untuk 2 buah tenda berkapasitas 3 dan 2 orang. Karena kami hanya berempat
saat itu, kami putuskan membuat tenda tepat berada di bawah tebing dinaungi
batuannya yang membentuk kanopi menjadi pelindung atap kami.
Cukup mudah disini untuk membuat perapian,
karena tersedia banyak kayu yang bisa dijadikan bahan bakar. Tumbuhan di
sekitar sini didominasi tumbuhan kayu keras dan semak-semakkan, tapi sesekali
juga masih didapati perkebunan-perkebunan warga. Bahkan di jalanan berbatu tadi
kami masih melewati sawah-sawah yang terhampar luas. Disini, kami tak
mengkhawatirkan masalah komunikasi karena jaringan dari beberapa provider sudah
menjangkau lokasi ini, jaringan 4G dari provier “saya3” pun mampu menjangkau
tempat ini.
Untuk biota, menurut cerita warga sekitar
masih ada banyak hewan liar di sekitar sini, mulai dari ular, tokek, kera ekor
panjang, babi hutan hingga ada yang pernah melihat penampakkan macan kumbang.
Meski begitu kegiatan kami berjalan lancar, suara tokek saling bersahutan di
pagi dan malam, diselingi nyanyian serangga dan burung yang saling tak ingin
terkalahkan. Tak ada hewan pengganggu selain tikus-tikus hutan yang datang
serta sesekali para kera berkelahi antar kawanan di pagi hari hingga
menimbulkan suasana yang mencekam.
Selain masalah akses yang masih cukup
sulit, bahkan jalur trekking dalam
hutan yang masih tertutup rimbunnya semak, masalah lain yang kami hadapi
–khususnya aku sebagai satu-satunya lelaki- yaitu sumber air yang jauh. Sore
itu untuk mencegah esok pagi yang terlalu sibuk berkegiatan, setelah selesai
mendirikan tenda aku turun membawa 3 buah kompan air kosong berkapasitas 5
liter menggunakan carrier. Perjalanan
dilakukan mengikuti jalur pendakian tadi, menuju jalan berbatu dan kembali
menyusuriya hingga dekat pepohonan bambu, disana ada sungai kecil mengalir yang
airnya jernih. Layak untuk memasak makanan dan air minum.
Maghrib menjelma. Dari pukul 17.00 turun
dari basecamp, kini aku selesai
mengisi air di 3 kompan ditambah sebuah botol air mineral berukuran 1,5 liter
yang kutemukan di pinggir jalan. Ketika trekking
mendaki tadi, aku ditemani salah seorang anak pak Eman bernama Jeje. Turun pun
demikian, tapi tidak untuk naik lagi.
Headlamp kunyalakan. Kukerahkan sisa-sisa tenagaku mengangkat
beban 16,5 liter air yang menggelayut di punggungku. Gelap. Di tengah hutan,
menerabas ilalang, dipagari pohon-pohon menjulang, aku tertatih sendirian hanya
berteman nyanyian malam.
Pukul 18.30 WIB. Satu setengah jam
perjalanan akhirnya aku dapat sampai kembali di basecamp dengan kondisi basah kuyup oleh keringat dan kehausan.
Sejenak ku baringkan tubuhku di atas tanah tanpa alas. Perjalanan hari pertama
yang kurasa sangat melelahkan.
Dari pencarian hari pertamaku ini
kutemukan sesuatu, bahwa memang kondisi alam tak bisa kita tentukan, namun apa
yang kita punya dalam tubuh beserta penyempurnaannya ini selalu bisa kita
usahakan agar dapat sedikit berirama sama dengan apa yang terjadi di alam yang
kita tempati.
Tidak ada komentar: