Tebing Lidah Jeger 2
Hari Rabu tanggal 5 Oktober 2016, keesokan
hari setelah perjalanan melelahkan kami langsung melakukan pemanjatan pukul 10.00
WIB dengan terlebih dahulu memasang tambatan untuk pemanjatan Single Rope Technique (SRT) 2 jam
sebelumnya. Tebing Lidah Jeger ini berjenis batuan gamping dengan tinggi 30-45
meter dan panjang tebing mencapai lebih dari 2 km. Namun lebih dari 90% dari
total panjang itu masih tertutup pepohonan.
Disini sudah terpasang beberapa hanger
dengan kondisi yang masih baik. Banyak juga didapati lubang tembus untuk
pengaman dan rekahan-rekahan dari mulai kecil hingga berukuran lebar mencapai
sekitar 70cm, cukup untuk sebuah jalur pemanjatan. Dari titik awal pemanjatan
yang berukuran lebar 10 meter, aku dan Nadia memilih jalur sebelah kiri dari
dua jalur yang biasa digunakan untuk awal pemanjatan di sebelah kanan dan kiri
tebing. Dari atas, kami dapat melihat tebing yang sudah bersih dari pepohonan
dan semak terus melebar hingga mencapapi 3x lebar awalnya.
Kami memilih menggunakan jalur sebelah
kiri kami atau bagian kanan tebing karena jalurnya yang lebih mudah dibanding
jalur pada bagian kiri tebing. Kami hanya tinggal memanjat mengikuti rekahan
yang cukup untuk tubuh kami. Di ketinggian sekitar 10 meter pemanjatan kami
lanjutkan secara horizontal ke arah kanan karena jalur lurus keatas masih
terlalu sulit bagi kami, disana terbentuk area overhang dengan sedikit pegangan
slap.
Ada yang mengusik ketenanganku ketika
Nadia melakukan pemanjatan di jalur horizontal ini. Dari semula kami
merencanakan jalurnya mengikuti bibir tebing mengitari sebuah tiang batu
berlubang menuju sebuah terasan, Nadia justru memilih untuk memasuki lubang
seukuran badan tersebut dengan peralatan yang ia bawa. Alhasil, ia agak kesulitan
memasuki lubang itu karena alat-alat yang dipakainya menyangkut di sela-sela
bebatuan. Aku dan para pendamping yang melihat kejadian itu sampai tertawa-tawa
dibuatnya.
Di tebing ini memang terdapat teras-teras
yang cukup untuk kami berdua duduk beristirahat, ada pula beberapa goa kecil
yang cukup untuk dijadikan sebagai pitch
atau pemberhentian sementara ketika kami memanjat.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam
memanjat di tebing ini ialah batuannya, dimana sebagian batuan di tebing ini
mudah terlepas. Beberapa kali kami terhenti agak lama di satu titik hanya untuk
mencari dan memastikan bahwa batuan yang kami pijak, yang kami pegang dan yang
kami jadikan tumpuan pengaman benar-benar aman dan tidak membahayakan siapapun.
Di hari pertama pemanjatan itu kami
berhasil memanjat 3 pitch dengan
Nadia sebagai leader di pitch pertama dan kedua, kemudian aku
melanjutkan pemanjatan sebagai leader
menuju pitch ketiga. Karena waktu
yang terus berjalan maju, sorepun menyapa. Aku dan Nadia memutuskan turun dari pitch tiga untuk beristirahat di bawah
tebing dan melanjutkan pemanjatan pitch
keempat di keesokan harinya.
Hari kedua dalam pencarianku, aku
menemukan arti sebuah kerjasama dan tawa kebahagiaan. Kerjasama adalah saling
menutupi kekurangan dengan tindakan dan tawa kebahagiaan adalah tawa yang
terlahir dari sebuah keikhlasan, bukan sekedar tawa diatas penderitaan tanpa
adanya rasa kemanusiaan.
~~~
Hari kedua pemanjatan, hari ketiga
pencarian. Hari Kamis, tanggal 6 Oktober 2016. Pukul 08.30 WIB Nadia mencoba
menjadi leader untuk memasang
tambatan SRT di jalur bagian kiri tebing. Namun, bahkan sebelum melakukan
pemanjatan ia sudah merasa tidak nyaman dan sempat ingin mengurungkan niatnya
untuk memanjat. Bukan karena jalurnya yang sedikit lebih sulit, namun karena
melihat seekor tokek berukuran panjang sekitar 25 cm sedang bertengger asyik di
rekahan jalur pemanjatan. Nadia takut ketidakengajaannya dalam memilih pegangan
akan mengusik ketenangan sang tokek hingga hewan itu marah dan mencederai
lengan atau salah satu dari jarinya.
Beruntung tak lama berselang sang tokek
yang melihat gelagat aneh di sekitar tempat bermainnya segera berlari menjauh.
Nadia pun kemudian dapat mulai memanjat mencoba memasang tambatan SRT. Namun
sayangnya, Nadia tak berhasil menemukan tambatan yang benar-benar aman untuk
dijadikan tambatan SRT. Dengan terpaksa Nadia turun kembali dan kami
melanjutkan pemanjatan menuju pitch 4
dari jalur bagian kiri tebing denganku sebagai leader.
Tak terlalu lama, sekitar 2 jam pemanjatan
sampailah kami di sebuah goa yang kami jadikan sebagai pitch keempat di tebing ini. Empat pitch, tujuan awal pemanjatan tercapai, tinggal tujuan-tujuan lain
yang juga sudah direncanakan. Masih banyak, hingga mau tidak mau kami harus
turun dari tebing untuk mengejar tujuan-tujuan lain terebut. Tersisalah sebuah
perasaan yang mengganjal di hatiku, tentang mengapa hanya sebagian kecil tebing
itu yang dapat kujejaki di 4 pitch
pemanjatan ini. Ahh.., semoga suatu saat nanti akan aku rasakan bagaimana
rasanya berdiri di bagian puncak dari tebing ini.
Hari ketiga pencarian. Pelajaran yang
kudapatkan adalah bagaimana kita harus mengikhlaskan suatu hal yang
kepentingannya sudah terkalahkan oleh kepentingan lain, seberapa besarnya pun
kita menginginkan hal tersebut. Mengikhlaskan sesuatu pergi dan berlalu untuk
mengejar dan mendapatkan hal lain yang jadi lebih penting.dibandingnya. Juga
bagaimana kita harus saling menghormati antar sesama makhluk hidup. Bukan hanya
pada sesama manusia, namun juga pada setiap makhluk hidup yang tercipta di
dunia.
~~~
Hari-hari selanjutnya kami habiskan dengan
bersilaturrahmi dan melakukan sosialisasi pedesaan. Kami meninggalkan tebing di
hari Jum’at tanggal 7 Oktober 2016. Berjalan menurun melintasi jalan setapak
ditengah hutan membelakangi tebing. Meninnggalkan jejak-jejak sepatu dan
telapak tangan di tebingnya, raut wajah dan senyuman yang tersirat di benak
tokek juga kera ekor panjang dan membawa pulang sejumlah kenangan perjuangan
yang melelahkan.
Tanggal 9 Oktober 2016, hari Minggu pagi
kami berangkat pulang dari Citeureup. Selain mendapat kenalan dan sahabat baru,
satu lagi pelajaran yang kudapat dari proses pencarianku ini. Tentang hubungan
manusia dengan alam. Tuhan menciptakan alam dan manusia mengkondisikannya. Alam
tak bisa di tebak, tak bisa diajak kompromi, tak mampu diminta diskusi, namun
sebenarnya manusia mampu menggiringnya. Giringlah ia menuju kemarahannya, maka
ia akan marah. Giringlah ia menuju sejahtera, maka ia akan menjadi sumber bahagia. Manusia dan alam memang bisa saling menyesuaikan diri namun keduanya memiliki
caranya sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar: