Ketika musim liburan tiba dan kita pergi berlibur bersama keluarga ke rumah nenek atau mungkin tempat yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya, kita habiskan dua atau tiga hari disana sampai akhirnya kita pulang ke rumah karena ayah harus kembali bekerja. Diperjalanan seringkali kita beranggapan bahwa perjalanan pulang selalu terasa lebih singkat, bukan? Pun dengan perjalanan lain seperti mendaki gunung atau hanya sekedar pulang dari kampus ke kosan untuk pertama kalinya.

Tapi, apakah benar demikian? Apakah memang perjalanan pulang selalu terasa lebih singkat daripada perjalanan berangkat? Jawabannya, tentu saja tidak! Apalagi jika jalan yang kita ambil ialah jalan yang sama dengan kecepatan bekendara yang sama dan kepadatan lalu lintas yang juga sama. Waktu yang dilalui untuk perjalanan pergi dan pulang akan sama saja, tak ada yang berbeda kecuali pemandangan yang kita lihat di sisi yang berbeda dari saat keberangkatan kita.

Jadi sebenarnya, apa yang menjadikan kita menganggap bahwa perjalanan pulang terasa lebih cepat dibandingkan berangkat? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam dunia ini, atau apa yang terjadi dalam otak kita? 

Fenomena ini disebut juga dengan “return trip effect” atau efek perjalanan pulang. Fenomena yang menjadikan seseorang beranggapan bahwa perjalanan pulang memakan waktu lebih singkat dibandingkan ketika berangkat.

Penjelasan tertua yang dipakai untuk menjelaskan fenomena ini adalah teori familiaritas yang sudah ada di kalangan ilmuwan sejak tahun 1950-an. Teori familiaritas ini menjelaskan bahwa ketika dalam perjalanan pulang, objek-objek yang dilalui akan menjadi lebih dikenali dan dapat di prediksi keberadaannya, hal ini menjadikan efek bahwa perjalanan pulang terasa lebih cepat dilalui.

Namun, penelitian tahun 2011 oleh Niels van de Ven asal Belanda menemukan hal lain yang bisa menyanggah bahwa ada penjelasan lain mengenai hal ini. Niels melakukan percobaan pada dua kelompok orang dimana kedua kelompok mendatangi destinasi yang sama namun satu kelompok pulang melalui rute yang sama dengan ketika mereka berangkat, dan kelompok lain menggunakan rute yang berbeda dari rute keberangkatannya.

Jika benar efek perjalanan pulang bisa disandarkan pada teori familiaritas, harusnya orang-orang pada kelompok kedua tak bisa merasakan sensasi perjalanan pulang yang lebih cepat karena rute jalan yang sama-sama asing pada saat berangkat maupun pulang. Tapi, Niels mendapati bahwa kedua kelompok merasakan efek yang sama, yaitu perjalanan pulang yang terasa lebih cepat.

Hasil temuan ini kemudian Niels beri istilah sebagai “A Violation of Expectations” atau pelanggaran terhadap ekspektasi. Orang-orang seringkali memiliki optimistis yang berlebih ketika memulai perjalanan, hingga ketika menemukan sedikit halangan atau dirasa berjalan terlalu santai, sesampainya di tujuan mereka merasa perjalanannya memakan waktu yang lebih lama daripada perkiraannya.

Sebaliknya, saat perjalanan pulang orang-orang cenderung menjadi lebih pesimistis dan menduga perjalanan akan berlangsung panjang dan melelahkan. Rasa pesimis inilah yang kemudian dilebih-lebihkan dan setelah melakukan perjalanan yang lancar dan tak seburuk yang mereka kira, timbullah sensasi perjalanan pulang yang terasa lebih cepat.

Sebenarnya, ada penjelasan-penjelasan lain yang juga dapat menjelaskan dari efek perjalanan pulang ini. Seperti yang dikatakan seorang Psikolog, Dan Zakay. Menurutnya, ketika perjalanan berangkat banyak orang yang seakan terburu-buru dan memiliki tenggat waktu sampai—seperti datang ke kelas sebelum jam sekian—dan dalam keadaan tertekan seperti itu, target waktu sampai itu menjadikan otak merasakan sensasi perjalanan lebih lama karena dituntut agar lebih fokus di perjalanan. Melihat kanan-kiri, jam, halangan, macet dan lain sebagainya. Sedangkan ketika perjalanan pulang, otak tak akan terbebani oleh tenggat waktu sehingga perjalanan yang sama dilalui lebih santai dan mengakibatkan efek perjalanan pulang yang lebih singkat.

Pada akhirnya, nikmati saja perjalanan kalian baik dalam perjalanan berangkat maupun pulang karena waktu terus berjalan dan jika tidak pulang, kalian akan kehabisan bekal dan kebingungan “bagaimana supaya bisa pulang?”

Okay.
Hari Minggu tanggal 21 Juni 2020 gua bareng temen gua jalan-jalan ke Gunung Geulis Ciwidey. Gak terlalu tinggi emang, apalagi kalo dilihat dari dataran Ciwidey yang ketinggiannya udah 1100/1200-an mdpl. Tinggi Gunung Geulis itu 1749 mdpl tapi bisa pake motor nyampe ketinggian 1500-an.
Sebelumnya gua sama temen lain 5 orang (cowok & jomblo semua wkwk), liat dulu tulisan soal pendakian gunung ini di web gitu lah. Gua nangkepnya web itu nyebutin kalo Gunung Tambakruyung sama Gunung Geulis itu sama, tapi pas diliat di peta menurut gua itu bukan gunung yang sama. Kayak Gede-Pangrango lah, jadi Gunung Tambakruyung sama Gunung Geulis tuh emang deket tapi beda. Tambakuruyung tingginya 1994 Gunung Geulis ada di sebelah Tenggaranya dan lebih pendek.

Awalnya gua juga gak tau kalo puncakan (yang suka keliatan juga kalo mau ke Rancabali dari Ciwidey dan gua selalu pengen nyelem ke hutannya) itu tuh namanya Gunung Geulis, sama banget soalnya kayak nama gunung yang ada di Jatinangor. Tapi ternyata Ciwidey juga punya haha

Nah buat kalian yang mau nyari tau soal pendakian, kalian harus gigit jari kayaknya karena gua disini gak mau bahas soal masalah pendakiannya (kecuali dikit). Gua di sini mau bahas soal pelajaran apa yang gua dapet setelah pendakian ke sana.

Jadi kita tuh berenam rencanain satu atau dua hari sebelum hari keberangkatan. Karena tempatnya tergolong deket dari rumah, gua sengaja cari tuh peta-nya. Kalo mau liat juga petanya ada di lembar peta 1208.544 kalo gak salah, skala 1:25000 penerbitnya Bakosurtanal. Gua liat tuh peta terus nyesuain sama yang ada di web dan ya, gua bisa kayaknya nih nunjukkin jalan ke temen gua yang lain sekalian bisa juga sharing pengantar navigasi lah (kalo mereka mau). Beruntung juga orang yang nulis di web itu lumayan lengkap lah catetannya menurut gua, jadi gak terlalu ribet nyesuain sama peta yang gua punya.

Udah skip. Jadi kita pake motor dulu, 3 motor ke arah Legok Kondang terus parkirnya izin ke pihak Glamping Legok Kondang Lodge. Dari sana kita jalan, langsung nanjak nyusurin kebun-kebun sayuran lanjut kebun kopi. Kira-kira 2 jam kurang akhirnya kita sampe deket banget sama puncak. Gua udah nunjukkin puncaknya yang mana pas mulai awal-awal dan juga udah kegambar di kepala soal jalurnya yang mana. Tapi yaa namanya juga jiwa petualang, gua dan temen sempet nyasar juga. Pertama salah belok di kebun kopi warga yang diyakinkan dengan teknik navigasi paling canggih "Navigasi Bacot." Kita nanya ke warga di sana jalan kemana hehe

Lanjut tinggal ngelewatin satu hutan yang ngelilingin si puncak Gunung Geulis. Gak terlalu luas hutannya tapi tetep masih ada kemungkinan nyasar karena tumbuhannya juga masih padet. Penuh pohon sama semak-semakan. Banyak rotan juga yang durinya bikin kita nyangkut-nyangkut.

Pertama gua liat dulu ke deket hutan yang padahal kalopun masuk pasti jalannya bakal curam (lihat dari peta). Yang lain mau pada ikut tapi gua larang karena jalurnya terlalu rapet. Mending nyari jalan yang lain aja kata gua.
Lagi asik-asik nyusurin pinggir hutan, gak sengaja kita kepisah jadi 3 tim. Masing-masing 2 orang. Gua sama Gaza, yang waktu itu nyari-nyari jalan masuk hutan yang bisa dilewatin semua. Salahnya, temen yang bareng gua awalnya becanda,
"jalannya susah, nyari yang lain aja,"
Gua bilang, "sini bisa, tapi rapet banget cuy"
Dia bilang lagi ke yang lain "yok kita ketemuan di puncak aja!" katanya.
Gua awalnya gak mau dong, pisah dari rombongan di gunung itu tuh kayak hal yang bodoh banget. Resikonya jadi berlipat-lipat, bahaya.
Tapi setelah lihat kondisi, kayanya ini masih memungkinkan kita buat pisah karena hutannya yang gak terlalu luas dan puncaknya jelas. Masing-masing dari kita udah tau titik temu kita dimana, titik akhir kita dimana, tujuan kita puncak tuh dimana. Yang jelas tinggal naik, nanjak, pasti nyampe puncak.

Akhirnya kita pisah jadi 3 tim dengan nyari jalur masing-masing menuju puncak!

Gua ngeliat emang ada kayak bekas jalan yang gua ikutin tapi gak tau udah berapa lama. Udah ketutup-tutup dan harus ekstra teliti buat nyari bekas jalan itu. Tapi karena udah tau harus kemana, gua mikirnya cuma satu, yaitu naik. Kalo kita jalannya turun berarti udah salah jalan, yakin. Jadi gua mikir yang penting gua naik. Yang penting jalannya naik.

Akhirnya, gua sama Gaza yang pertama nyampe puncak. Dari atas kita teriak manggil-manggil 2 tim lain, yang anehnya mereka nyaut dari dua arah yang berlawanan. Di peta gua liat keduanya di sisi yang curam. Gua mulai khawatir.

Udah beberapa lama, mereka belom juga nyampe puncak.
Nyampe turun mau niat ngecek, akhirnya gua mutusin buat nunggu di puncak berbekal keyakinan kalo mereka juga tau tujuan kita kemana.
Beruntung, beneran beruntung di puncak masih ada sinyal meski dikit. Gua sempet ngontak temen yg belom naik terus ngasih dikit saran arah jalurnya. Hingga akhirnya tim 2 bisa juga nyampe puncak dari arah yang sama dengan Gua dan Gaza. Tinggal tim 3 yang belom nyampe dan gua makin khawatir.

Oh ya, kenapa gua bisa ngerasa khawatir gitu karena di kampus gua belajar soal navigasi, gua masuk mapala dan karena merasa udah belajar soal gimana nentuin arah jalan di hutan dan udah beberapa kali juga naik gunung, nyari jalan. Terlebih senior gua di kampus juga suka bilang kalo nanti abis ini (pelatihan) naik gunung, siapapun yang ikut pelatihan itu pasti punya ilmu lebih dan harus bisa diandelin sama temennya. Dari situ gua jadi selalu ngerasa bertanggungjawab lebih kalo bawa orang jalan-jalan ke hutan kayak gini.

Setelah hampir satu jam, akhirnya si tim 3 ini nyampe puncak dari arah yang berlawanan. Mereka berdua nerabas hutan dan sempet gak yakin kalo itu jalan mereka menuju puncak (padahal gak ada yang lewatin jalan yang bener ke puncaknya haha). Pikiran mereka sama, yang penting nanjak. Terus naik sampe gak ada lagi dataran yang lebih tinggi dari tanah yang diinjaknya. Tak peduli lewatin duri, semak, pohon, ranting dsb, belok sana-sini, kesana-kemari, yang penting nyampe. Yang penting, tujuannya tercapai.
Akhirnya bener, kita semua bisa sampe ke tujuan kita, ke puncak Gunung Geulis Ciwidey.

Nah, dari pendakian singkat tempo hari tuh gua jadi makin sadar soal pentingnya Tujuan dalam hidup. Emang banyak definisi tujuan tergantung perspektif tiap orang, dan itu gak apa. Hal itu wajar aja karena setiap manusia emang punya jiwa masing-masing, punya pemikiran masing-masing.

Ada yang bilang tujan itu adalah keinginan yg harus diwujudkan, tujuan adalah titik akhir dalam fase kehidupan dan lain-lain. Dan gua setuju. Karena selama ada tujuan, hidup kita tuh pasti akan jadi lebih terarah, lebih jelas setiap langkahnya dan sesedikit apapun itu pasti kita pake perhitungan buat ngambil setiap langkah kita.

Gua dan temen-temen gua tau kita harus kemana dan akhirnya kita bisa sampe di tujuan itu meski jalannya beda-beda. Meski kerumitan jalannya beda. Meski kemiringan jalurnya beda. Meski usahanya buat ke puncak beda-beda. Tapi karena masing-masing kita udah punya tujuan, kita punya harapan, kita punya keinginan yang pengen kita wujudkan. Kita jadi tau harus kemana, masing-masing kita punya bayangan tentang tujuan kita dan bisa kasih kalkulasi soal jalur yang kita laluin meski belum pernah sekalipun kita kesana.
Gua sama temen pas muncak disini, usaha sekuat tenaga ngelewatin apapun halangannya, seberat apapun rintangangnya, biar bisa nyampe puncak. Biar bisa nyampe ke tujuan kita.

Tujuan itu bisa jadi alasan kuat buat seseorang agar bisa berjuang. Tujuan bisa jadi bahan bakar tekad yang bikin seseorang terus maju dan gak mau balik badan. Tujuan tuh kayak kepala ayam yg tetep tegak meski badannya lu goyang-goyang :')

Jadi, kalo sekarang lu ngerasa hidup tuh kayak ngalir-ngalir aja. Gak peduli mo kemana yang penting ngikut aja. Percaya kalo semua indah pada waktunya tapi maunya diem aja. Rezeki sudah diatur tapi usaha gak mau juga, mending lu diem dulu bentar—di WC kalo perlu—terus mikir.

Pikirin hidup lu tuh pengen kayak gimana si? Lu pengen jadi apa si? Hidup lu tuh buat apaan si?

Karena, gak mau kan hidup cuma numpang napas doang? Gak ngapa-ngapain tiba-tiba udah dijemput aja? Kayak mubazir banget gitu. Kayak ikan mati, ngambang aee kebawa air. Air belok ikutan, jatuh ke jurang hayu, kalo nyangkut ya udah. Ayolah cuy, kehidupan emang kadang banyak becandanya, tapi hidup gua, lu, kita, gak bisa dibencandain.

Gitu aja dah dulu. Gua juga sambil nulis ini tuh mikir hidup gua mo dibawa kemana? Semala hidup udah ngapain aja? Nanti lu dimana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?~

Semoga kita bisa dapet tujuan hidup kita masing-masing lah. Yaa~ 😅

Pemuda kampung itu udah resmi keterima di kampus yang jadi salah satu mimpinya dari kelas 8. Sekarang dia ngadepin hal yang paling berat buat dirinya. Hal ini pernah dia hadapin pas masuk SMP dulu, tapi dia kalah dan mencari jalan lain. Beruntung pas SMA dia bisa ngelaluin hal itu karena ada bantuan dari ingatannya. Hal yang paling dia takuti itu ialah, adaptasi.

Dia pernah benar-benar gak berkutik ketika di minta sama keadaan buat adaptasi di sekolah barunya pas SMP. Akhirnya dia milih pindah ke sekolah yang emang banyak temen SD-nya disana. Pas SMA dia selamat karena ngerasa ada orang yang dia kenal sebelumnya. Orang yang datang dari masa lalu, orang yang ia tau bahwa dia pernah satu kelas di SMP sebelum dia pindah. Dia merasa bisa mengobrol dengan orang itu.

Tapi sekarang, ada dimana dia? Siapa orang yang ia kenal disana? Apa dia bisa bertahan untuk akhirnya bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya? Lingkungan yang benar-benar asing untuknya? Meski ini adalah mimpinya tapi yakinlah bahwa ngejalanin mimpi tak seindah saat kita masih bermimpi. Masih mengejar-ngejar dan berdarah-darah karenanya. Mendapatkan mimpi akan membawamu ke sebuah puncak bukit, dan disana akan muncul sebuah pertanyaan, "apa selanjutnya?"

Setiap malam dia tersiksa di tempat baru itu. Udaranya tak biasa, perutnya terasa sakit, kerongkongannya serasa kering. Ia sulit mengakrabkan diri dengan orang lain, pun ia merasa bingung ketika ada seseorang yang mencoba menjadikannya teman. Masa-masa awal itu adalah masa terberat ketika dia sudah mendapatkan mimpinya. Mimpi yang pada akhirnya ia rasa terlalu pendek dan kecil. Mimpi yang tak disertai mimpi-mimpi selanjutnya. Mimpi yang hanya tentang dirinya dan ambisinya, tak melibatkan hal lain.

Memang entah dari kapan dia memiliki keyakinan bahwa "tak ada hal yang lebih rendah daripada seorang lelaki yang tak bisa membuktikan ucapannya," hingga dia berusaha sekuat tenaga agar bisa membuktikan ucapannya untuk bisa masuk sekolah tinggi tapi tak tau bagaimana setelah itu. Di masa-masa ketersiksaan awal masa kuliah itu dia bahkan sempat berpikir tak ingin melanjutkan siksaannya, tak apa karena ucapannya telah terbukti. Jika ia tinggalkan mimpinya, ia bahkan tak harus merasa telah mengingkari ucapannya sendiri, bukan? Ia telah membuktikannya.

Sungguh, perjalanan menegangkan dan penuh perjuangan itu harus dinikmati dengan sungguh-sungguh. Sakitnya, perihnya, capeknya, susahnya, semuanya terasa sangat manis ketika telah berada di ujungnya. Tapi sekali lagi, buatlah mimpimu bertingkat, berlapis dan bergerak. Karena, akan selalu dibutuhkan mimpi yang lebih tinggi agar bisa menjalani mimpi yang telah didapati.
Dia telah membuktikannya.

Ini adalah foto ospek jurusannya. Foto teman sekelasnya. Jika boleh jujur, susah sekali sebenarnya bagi dia agar bisa mengakrabkan diri dan mengukuhkan tempat diantara mereka, apalagi hanya bertemu sesekali saja. Butuh waktu yang lebih lama nampaknya agar dia bisa bercanda dengan teman sekelasnya itu, atau bahkan sekedar berdiskusi tentang tugas di masa ia belum mempunyai ponsel pintar. Tapi bagaimanapun sulitnya itu, teman sekelasnya telah memberi dia pelajaran berharga, tentang keberagaman tanpa peperangan, tentang bagaimana setiap orang memandang kehidupan, tentang saling menghargai dan tak saling menjatuhkan dan tentang kenangan yang suatu saat bisa diceritakan.

Meski awal mimpinya berat, dia akhirnya dapat melewati semua meski dengan banyak bantuan. Sabarlah, semua memang akan indah pada waktuya. Jika diusahakan.